Respons Pasien TB Saat Diedukasi: Takut Stigma, Ngotot, Hingga Patuh

Posting Komentar
 Edukasi soal Tuberkulosis atau TB penting dilakukan, terutama terkait pengobatan TB. Dengan begitu keberhasilan pengobatan bisa dicapai. Hanya saja, kadang respons masyarakat bisa berbeda-beda saat diberi edukasi.

Seperti diungkapkan koordinator lapangan Cepat Perdhaki yang memberi penyuluhan soal TB dari RS Mitra Masyarakat, Valentin Wenehen, ia dan tim setiap hari turun ke lapangan jalan dari rumah ke rumah untuk melihat pasien yang mereka dampingi.



"Selain pada pasien, kita juga kasih pembekalan ke keluarga untuk jadi PMO atau pendamping minum obat. Ada pasien yang tidak mau menerima dan jika begitu akan kita kasih penjelasan," kata Valentin ditemui di RS Mitra Masyarakat, Timika, Papua, Rabu (22/3/2017).

Kadang kala ada pasien yang merasa takut didiskriminasi. Misalnya, penggunaan alat makannya takut dipisah, dijauhi, atau bahkan dikucilkan. Walaupun, tidak ada pasien TB yang sampai dikucilkan seperti itu.

"Ibaratnya dia takut dapat stigma dari masyarakat terus putus asa gitulah. Kalau gitu, kita tetap bujuk dia agar mau berobat tuntas. Memang nggak mudah, nggak bisa sekali. Kita harus lakukan berkali-kali," tambah Valentin.

"Biar begitu ada yang ngotot juga. Bilang TB kan menular bisa dari air liur. Nah liur kan kontak sama sendok, jadi bisa dong tertular. Kalau gitu lagi-lagi kita kasih penjelasan. Ada juga pasien yang iya iya saja tapi ternyata dia nggak paham," tambahnya.

Meski begitu, ada pula pasien yang bisa menyenangkan bagi Valentin dan penyuluh lainnya karena amat patuh. Ia mengisahkan, ada seorang wanita yang positif TB dan kebetulan dia tinggal bersama anak dan keluarga besarnya. Khawatir saat diberi edukasi bahwa orang di sekitar berisiko tertular, si wanita lantas memboyong keluarga besarnya ke RS.

"Ada itu yang anaknya empat dibawa semua. Atau bahkan keluarga besarnya dibawa semua karena mereka satu rumah ada 3 sampai 4 kepala keluarga. Ada yang patuh sekali seperti itu. Kalau begitu pasti ada salah satu keluarga yang tertular memang," kata Valentin.

Memberi edukasi juga terkait dengan kebiasaan mereka sehari-hari. Sebut saja kebiasaan masak di dalam rumah, mengasapi tubuh, bahkan merokok. Lagi-lagi, itu bukan hal yang mudah. Butuh berkali-kali edukasi agar masyarakat paham bahwa apa yang mereka lakukan keliru.

"Apalagi kalau sudah terkait budaya dan adat memang susah sekali. Tapi kita jangan menyerah. Terus beri edukasi perlahan, diarahkan masyarakatnya, butuh waktu berbulan-bulan itu. Memang, tidak gampang seperti yang dibayangkan dan tidak boleh memaksa," pungkas Valentin.

Sumber :
Detik Health. (2017).  Respons Pasien TB Saat Diedukasi: Takut Stigma, Ngotot, Hingga Patuh. [Online]. Tersedia ; http://health.detik.com/read/2017/03/23/103249/3454627/763/respons-pasien-tb-saat-diedukasi-takut-stigma-ngotot-hingga-patuh. (3 Mei 2017).
Imaduddin Badrawi, S.Tr.AK
Imaduddin Badrawi, S.Tr.AK
Founder www.infolabmed.com, tim penulis buku "Pedoman Teknik Pemeriksaan Laboratorium Klinik Untuk Mahasiswa Teknologi Laboratorium Medik". Aktif menulis di https://www.atlm-edu.id/, https://www.indonewstoday.com/, dan https://kumparan.com/catatan-atlm. Untuk kerjasama bisa melalui e mail : imadanalis@gmail.com

Related Posts

Posting Komentar