Konsep Kabuyutan
Kabuyutan dalam budaya Sunda telah dikenal sejak zaman sejarah Sunda kuna. Bukti peninggalan sejarah yang dapat menguatkan keberadaan kabuyutan ada dalam prasasti Cibadak yang dibuat oleh seorang raja Sunda bernama Sri jaya Bupati antara tahun 1006-1016 M. Dalam prasasti tersebut Sri Jaya Bupati telah menetapkan sebagian Sungai Sanghiyang Tapak sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang memiliki pantangan (larangan) untuk ditaati oleh rakyat. Salah satu larangan yang tersurat dalam prasasti tersebut adalah larangan untuk tidak menangkap ikan di dalam kawasan kabuyutan. Selain dalam prasasti Cibadak, istilah kabuyutan terdapat pula dalam naskah Sunda kuna peninggalan abad ke-13, yaitu Amanat Galunggung atau dikenal dengan Amanat Prabu Guru Darmasiksa seorang raja Sunda antara tahun 1175-1297 M.
Naskah Galunggung berisi tentang nasihat raja kepada anak keturunan dan seluruh rakyatnya untuk dijadikan sebagai pegangan hidup (cekalan hirup), larangan (ulah), dan perintah (kudu) agar jaya sebagai bangsa. Dalam naskah kuna tersebut, Prabu Guru Darmasiksa mengamanahkan untuk menjaga kelestarian dari kabuyutan. Suryalaga (2002) menerangkan beberapa amanat Prabu terkait kabuyutan sebagai berikut: (1) kabuyutan harus dijaga dari kemungkinan direbut dan dikuasai oleh orang asing; (2) bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan; dan (3) lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan.
Berdasarkan tinjauan sejarah terhadap beberapa peninggalan sejarah, dapat dibuktikan bahwa kabuyutan memiliki peranan penting bagi budaya Sunda. Kabuyutan memiliki multi dimensi nilai yang tidak hanya dapat dimaknai sebagai sebuah materi, namun juga menjadi sebuah filofofi hidup bagi orang Sunda. Kabuyutan memiliki kandungan nilai ilmu pengetahuan, teknologi, sejarah, arkeologi, dan lingkungan. Secara fisik, kabuyutan yang ditinggalkan oleh para leluhur orang Sunda berupa leuweung larangan (hutan lindung) yang meliputi gunung dan bukti, sungai-sungai strategis dan lingkungannya, situs purbakala, serta peninggalan sejarah lainnya. Terdapat pesan moral bagi seluruh masyarakat Sunda untuk dapat menjaga, memelihara, dan melindungi kelestarian kabuyutan yang ada di seluruh Tatar Sunda, sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi generasi berikutnya. Perumpamaan bagi siapa saja yang tidak dapat menjaga kabuyutan dianggap lebih dibandingkan kulit musang yang berada dalam tempat sampah.
Kabuyutan dalam makna luas adalah tanah air, baik lokal, regional maupun nasional. Dalam konteks ilmu pengetahuan saat ini, kabuyutan dapat dimaknasi sebagai sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang meliputi: lahan, geologi, air, udara, serta keanekaragaman hayati (satwa dan tumbuhan) yang tercermin dalam ruang ekologi berupa hutan, sungai, gunung, dan lingkungan alam lainnya beserta kandungan didalamnya. Selain karakter kabuyutan dalam konteks lanskap alami, kabuyutan tercermin pula dalam konteks lanskap budaya sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Permukiman penduduk, area persawahan, perkebunan, perikanan, dan peternakan menjadi bentuk manifestasi nilai kabuyutan dalam memaknai realitas faktual ruang Sunda.
Penataan Ruang Kabuyutan
Kabuyutan dapat dimaknasi sebagai menifestasi dari kosmologi Sunda sebagai acuan dalam menentukan tata ruang kehidupan masyarakat Sunda mulai dari skala global, regional hingga lokal. Kosmologi merupakan ilmu pengetahuan tentang alam atau dunia yang memaknai dunia tidak hanya dalam sisi obyek material (lingkungan), namun lebih dari inti sari dunia tersebut (Suryani 2006). Kartakusumah (2010) membagi jagat raya dalam kosmologi Sunda menjadi tiga bagian, yaitu Buana Jatiniskala (alam kemahagaiban sejati), Buana Niskala (alam gaib), dan Buana Sangkala (alam nyata/dunia). Ketiga buana tersebut membentuk suatu hubungan saling terkait antar para penghuninya (Tritangtu Sunda). Kosmologi Sunda menempatkan buana langit (Jatiniskala) pada posisi teratas, kemudian buana tengah (Niskala), dan buana bawah (Sangkala) berada di posisi terbawah.
Stratifikasi tersebut tercermin dalam bentuk segi tiga sama kaki dengan memposisikan manusia dan bumi/lingkungan berada dalam satu strata, sedangkan langit/Tuhan berada di strata tertinggi. Pemahaman kosmik tersebut tercermin pula dalam kata Sunda yang terdiri dari tiga silabel (Sun-Da-Ha). Sun dimaknai sebagai diri manusia, Da sebagai alam, dan Ha sebagai Tuhan. Dengan kata lain, hubungan ketiga unsur tersebut mencerminkan kearifan lokal masyarakat Sunda dalam menjalankan peranannya di bumi sebagai bagian dari sub sistem alam (seke seler). Sun berarti hubungan antar manusia, Da hubungan dengan alam, dan Ha hubungan dengan Tuhan.
Pemahaman terhadap ruang kosmik Sunda tersebut, hadir dalam realitas kesadaran masyarakat Sunda untuk memaknai realitas faktual ruang kabuyutan Sunda, baik dalam penataan ruang permukiman (baladahan-babakan-kampung), rumah tinggal, ekologi, hingga pengaturan dalam unsur-unsur budayanya (sistem religi, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem peralatan hidup). Keterkaitan dengan konsep ruang, berdasarkan sumber cerita sejarah Sunda Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M), terdapat tiga konsep patempatan (penempatan) dalam budaya Sunda (Purnama 2007), yaitu: konsep elemen (cai nyusu, imah, pipir, dan buruan/kebon); konsep orientasi (sanghiyang wuku, luhur-tengah-handap); dan konsep mitos (seke seler yang menjadikan alam sebagai representasi tubuh manusia).
Konsep luhur-tengah-handap merupakan pembagian ruang secara umum di Tatar Sunda. Gunung ditempatkan di bagian atas (luhur) sebagai representasi dari Tuhan pemberi sumber kehidupan. Selanjutnya permukiman masyarakat ditempatkan di bagian tengah (tengah), dan kawasan produksi (pertanian, peternakan, perikanan, dsb.) di posisi bawah (handap). Di samping penerapan konsep luhur-tengah-handap, dalam penataan ruang Sunda diterapkan konsep cai nyusu yang menjadikan sumber mata air sebagai inti dari suatu kawasan. Dalam hal ini mata air merupakan obyek alam yang dikeramatkan karena fungsinya yang sangat vital bagi kehidupan makhluk hidup. Air dianggap sebagai unsur alam yang menjadi dasar terbentuknya tubuh dan jiwa manusia. Pandangan ini pula menjadi dasar dalam memahami maksud dikeramatkannya gunung bagi masyarakat Sunda. Gunung dianggap sebagai salah satu tempat yang memberikan unsur sistem tubuh manusia dalam wujud sari pati yang ditransformasikan melalui air. Maka penamaan gunung pun sama dengan penamaan bagian tubuh manusia dan hal tersebut tercermin dalam penetapan ruang kabuyutan (Gambar 1)
Gambar 1. Konsep ruang kabuyutan Sunda |
Aplikasi Konsep Kabuyutan
Dengan melihat kondisi ekologi, sosial, dan budaya masyarakat di kawasan Puncak, konsep kabuyutan sangat sesuai untuk diaplikasikan. Pembagian kawasan pegunungan di Puncak menjadi tiga bagian (luhur-tengah-handap) dengan penyesuaian terhadap fungsi masing-masing kawasan, dapat mencapai fungsi kawasan yang optimal. Bagian gunung di kawasan hulu (luhur) dimaksimalkan sebagai ruang untuk fungsi perlindungan baik yang dikelola oleh pemerintah (taman nasional, cagar alam, hutan produksi Perhutani, dsb.) maupun oleh masyarakat (hutan rakyat). Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa kawasan luhur hanya diizinkan untuk fungsi perlindungan dengan optimalisasi tegakan pohon.
Penataan ruang gunung di bagian tengah difungsikan sebagai kawasan permukiman dengan memperhatikan aturan dalam menempatkan bangunan sesuai dengan budaya Sunda. Leluhur masyarakat Sunda sangat memperhatikan kualitas tanah dalam pemilihan lahan untuk lokasi bangunan (imah-baladahan-babakan-kampung). Pertimbangkan dilakukan pada aspek lokasi, kemiringan lahan, sejarah lokasi, warna dan aroma tanah, serta bentuk alami lahan tersebut. hal tersebut dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan penghuni dari lahan tersebut. Berdasarkan informasi dari naskah kuna Sunda Sanghyang Siksakandang Karesian, dijelakan terdapat 19 jenis lahan yang tidak sesuai untuk dijadikan tempat tinggal karena dipercaya akan mendatangkan mala petaka bagi penghuninya.
Lahan yang termasuk ke dalam mala ning lemah (sampah bumi) adalah: (1) sodong, (2) sarongge, (3) cadas gantung, (4) mungkal pategang, (5) lebak, (6) rancak, (7) kebakan badak, (8) catang nunggang, (9) catang nonggeng, (10) garunggungan, (11) garenggengan, (12) lemah sahar, (13) dangdang wariyan, (14) hunyur, (15) lemah aki, (16) pitunahan celeng, (17) kolomberan, (18) jarian, dan (19) sema. Selain lahan yang memabahayakan, leluhur masyarakat Sunda memberikan arahan untuk memanfaatkan enam jenis tanah (lahan) yang sesuai untuk hunian, yaitu: (1) galudra ngupuk, (2) pancuran emas, (3) satria lalaku, (4) kancah nangkub, (5) gajah palisungan, dan (6) bulan purnama.
Berikut penjelasan untuk setiap lahan yang diamanahkan oleh leluhur masyarakat Sunda sebagai acuan dalam menata ruang untuk permukiman (Tabel 1 dan 2). Di samping itu, leluhur masyarakat Sunda menetapkan tiga lahan yang dilarang untuk dijadikan permukiman yaitu: (1) gelagah katunan yang merupakan lahan di dataran rendah yang dikelilingi lahan yang lebih tinggi, (2) cagak gunting berupa lahan segi tiga yang diapit dua jalur jalan atau sungai, dan (3) jalan ngolecer atau lebih dikenal dengan tusuk sate. Dengan mempertimbangkan kearifan tradisional masyarakat Sunda dalam menata lingkungan hidupnya, dapat diduga gangguan terhadap lingkungan tidak akan melebihi daya dukungnya sehingga mitigasi dampak kerusakan dapat dilakukan secara optimal.
Tabel 1. Jenis lahan yang tidak sesuai untuk permukiman berdasarkan budaya Sunda
No.
|
Jenis Lahan
|
Keterangan
|
1.
|
Sodong
|
Tempat pada celah tebing di daerah aliran sungai (leuwi)
|
2.
|
Sarongge
|
Tempat yang dipercaya sebagai makhluk halus (jurig, ririwa, kunti, dsb.)
|
3.
|
Cadas gantung
|
Tempat di bawah tebing
|
4.
|
Mungkal pategang
|
Tempat yang dikeliligi oleh bongkahan batu atau karang
|
5.
|
Lebak
|
Tempat yang menjadi dasar jurang yang tidak terkena sinar matahari
|
6.
|
Rancak
|
Tempat yang dikurung oleh batuan besar sehingga sulit diakses
|
7.
|
Kebakan badak
|
Tempat yang digunakan sebagai kubangan badak atau kerbau
|
8.
|
Catang nunggang
|
Tempat yang dibagi oleh aliran sungai yang dihubungkan oleh jembatan alami berupa pohon atau batu cadas
|
9.
|
Catang nonggeng
|
Tempat di lereng yang curam
|
10.
|
Garunggungan
|
Tempat dengan kondisi bergelombang (undulating)
|
11.
|
Garenggengan
|
Tempat yang permukimannya kering tetapi berlumpur dibawahnya
|
12.
|
Lemah sahar
|
Tempat yang panas dan keras atau bekas terjadinya pertempuran darah
|
13.
|
Dangdang wariyan
|
Tempat yang kedap air (tergenang)
|
14.
|
Hunyur
|
Tempat dengan kondisi bergelombang (undulating)
|
15.
|
Lemah aki
|
Tempat yang tandus atau curam
|
16.
|
Pitunahan celeng
|
Tempat berkeliaran babi hutan
|
17.
|
Kolomberan
|
Tempat pembuangan limbah cair
|
18.
|
Jarian
|
Tempat pembuangan sampah
|
19.
|
Sma
|
Tempat pemakaman
|
Tabel 2. Jenis lahan yang sesuai untuk permukiman berdasarkan budaya Sunda
No.
|
Jenis Lahan
|
Keterangan
|
1.
|
Galudra ngupuk
|
Tempat yang memberikan kenyamanan dan kekayaan duniawi
|
2.
|
Pancuran emas
|
Tempat yang miring ke selatan dan barat
|
3.
|
Satria lalaku
|
Tempat yang miring ke selatan dan timur
|
4.
|
Kancah nangkub
|
Tempat yang datar-landai di atas gundukan tanah dan dikelilingi pegunungan
|
5.
|
Gajah palisungan
|
Tempat yang datar-landai di atas gundukan tanah yang miring ke timur dan barat
|
6.
|
Bulan purnama
|
Tempat yang dekat dengan aliran air dari mata air (ci nyusu) di arah utara dengan posisi bangunan berederet mengarah timur-barat
|
Penataan ruang berdasarkan konsep kabuyutan merupakan temuan ilmiah leluhur masyarakat Sunda sebagai akumulasi pencarian pengetahuan ekologik tradisional yang didasarkan pada kepercayaan (believe) pada penguasa alam. Masyarakat Sunda meyakini adanya kekuatan lain diluar kekuatan manusia dan alam yang mampu mengendalikan sistem ekologi agar tetap dalam kondisi seimbang. Segitiga ATM menunjukkan model sinergis yang saling mempengaruhi antara alam, Tuhan, dan manusia (Gambar 2). Kekuatan yang saling mempengaruhi inilah yang memberikan batasan bagi manusia dalam memanfaatkan nikmat yang telah disediakan oleh Tuhan (Allah Swt) berupa sumber daya alam yang melimpah.
Gambar 2. Segitiga hubungan sinergis antara alam, Tuhan, dan manusia |
Pemahaman bahwa ada kekuatan yang dijabarkan dalam ragam aturan, menuntut manusia untuk meyakini dan mengarahkan bahwa aturan-aturan tersebut semua bersumber dari aturan Allah Swt. Sentralisasi keyakinan inilah yang akan menuntun manusia kepada pemahaman yang utuh terhadap kebenaran hakiki yang bersumber dari Allah melalui perantara firman-Nya dalam Al-Quran dan hadist Rasulullah Muhammad Saw. Terkait dengan aspek penataan ruang, Al-Quran telah jelas menerangkan bahwa kawasan gunung adalah lokasi ideal untuk tempat tinggal. Keterangan ini tercantum dalam ayat ke-81 dari surat An-Nahl sebagai berikut,
Sumber : http://www.himaskap.web.id/2013/06/celoteh-anak-lanskap-mengkaji-rencana.html
Posting Komentar