Lipi | Tempo.com |
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sedang melakukan penelitian dengan aplikasi teknologi DNA dan protein rekombinan untuk pengembangan bahan baku obat. Melalui Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI juga mengembangkan bahan baku obat berbasis bahan alam (natural product-drug discovery).
Riset ini dilakukan untuk mengatasi masalah ketersediaan bahan baku obat Indonesia. Kepala Puslit Bioteknologi LIPI, Witjaksono, mengatakan industri obat Indonesia masih mengimpor sebagian besar bahan baku untuk obat.
"Karena kurang insentif ke riset, kita dipaksa membeli terus, padahal sebenarnya kita sanggup membuat sendiri. Kualitas peneliti dan riset yang kita miliki tidak kalah dengan negara maju," kata Witjaksono dalam acara Open House Puslit Bioteknologi di Cibinong Science Center, Selasa, 19 November 2013.
Saat ini LIPI sedang menggelar riset pengembangan obat biosimilar, seperti erythropoietin, untuk pengobatan anemia, G-CSF untuk pengobatan neutropenia, dan pembuatan obat herbal berbasis daun sukun. Riset lainnya adalah pembentukan kit diagnostik terhadap virus HPV (human papilloma virus) yang terkait dengan kanker leher rahim, serta pengembangan tagatosa, gula langka untuk penderita diabetes tipe 1 dan 2.
Koordinator Program Kompetitif Molecular Farming dan Bahan Baku Obat, Dr Wien Kusharyoto, mengatakan LIPI mampu melakukan riset bahan baku obat-obatan, dan hasilnya bisa dijual ke industri setelah melalui uji praklinis. Namun, ia mengatakan, kesulitannya adalah memindahkan riset skala laboratorium ke industri.
"Untuk laboratorium, kami tidak ada masalah, sudah bisa produksi. Lain soal kalau untuk skala industri, Indonesia masih kurang investasi di situ," ujar Wien.
Hasil riset bahan baku obat yang dinilai paling siap dilempar ke industri adalah tagatosa. Tagatosa adalah jenis gula langka yang tidak tersedia di alam.
"Tapi di sini kami berhasil membuatnya dalam skala laboratorium. Untuk produksi besar, tinggal dilihat seperti apa investasi yang diberikan," kata Wien.
Negara lain yang berhasil mengembangkan tagatosa adalah Belgia, dengan produksi mencapai 10 ribu ton per tahun.
Tagatosa adalah produk yang sudah mendapat pengakuan dari badan Eropa dan lebih aman dikonsumsi karena jumlah kalorinya sangat rendah. "Kerja tagatosa yang kami produksi sama dengan milik Belgia itu, bedanya kami gunakan material lokal untuk produksinya," kata Wien.
Tagatosa menjadi bahan baku penting untuk obat diabetes. Wien menambahkan, Jepang dan Korea Selatan bahkan sampai mempunyai institut khusus untuk riset gula langka.
Menurut Wien, sektor industri belum memberikan dukungan penuh terhadap riset bahan baku obat. Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, yang memberikan insentif besar untuk penelitian.
"Di sini, saat teknologi siap, sumber daya manusia ada, justru industri yang tutup mata," kata Wien. Industri lebih memilih membeli produk jadi ketimbang membuat sendiri. "Padahal, kalau suplai berhenti, harga mahal, mereka repot sendiri," katanya.
Posting Komentar