The Nuclear Regulation Authority (NRA) atau Otoritas Regulasi Nuklir Jepang memperkirakan tingkat keparahan paparan radiasi nuklir yang terjadi di Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Badan Tenaga Atom Oarai, Prefektur Ibaraki, Jepang, pada 6 Juni lalu, telah mencapai tingkat 2, dalam nol sampai tujuh sesuai skala internasional.
Peristiwa tersebut telah menyebabkan paparan radiasi internal pada lima pekerja, meskipun dideteksi tidak berdampak pada lingkungan sekitar.
Kecelakaan nuklir Fukushima dipicu oleh gempa besar dan tsunami pada bulan Maret 2011, yang mendapat peringkat maksimal 7, setara dengan bencana Chernobyl 1986. Tingkat 2 pada Skala Peristiwa Nuklir dan Radiologi Internasional didefinisikan sebagai “kecelakaan”.
Peristiwa berawal saat satu dari lima pekerja, seorang pria berusia 50-an, membuka sebuah wadah di sebuah ruang penyimpanan di fasilitas Oarai. Tindakan itu menyebabkan kantong plastik dalam wadah, yang berfungsi menahan sampel bubuk plutonium dan uranium, pecah.
Pekerja tersebut tetap melanjutkan pekerjaannya, bahkan setelah dia mengetahui kantong plastik itu rusak sehingga menghirup zat radioaktif. Pengujian laboratorium memastikan bahwa mereka mengalami paparan radiasi internal setelah menemukan sejumlah kecil bahan radioaktif plutonium dan americium dalam urin kelima pekerja itu.
Institut Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kuantum dan Radiologi memperkirakan bahwa pekerja itu akan terpapar secara internal dengan dosis radiasi total antara 100 dan 200 millisieverts dalam jangka waktu lebih dari 50 tahun, kondisi yang dapat meningkatkan risiko kanker.
Mendapat Kecaman
Sementara itu, Badan Energi Atom Jepang, setelah insiden, langsung mengasumsikan bahwa tingkat paparan radiasi pekerja itu dapat berlanjut hingga 12 sieverts lebih dari 50 tahun, angka yang jauh lebih tinggi dan jauh di atas batas hukum yang ditetapkan untuk pekerja yang terkena radiasi.
Badan itu pada awalnya mendeteksi hingga 22 ribu plutonium jenis becquerels 239 di dalam paru-paru pekerja itu, serta 14.000 bahan radioaktif yang mengandung bahan becquerel pada tiga pekerja lainnya.
Otoritas tenaga kerja setempat juga mengatakan bahwa mereka memperkirakan bahwa orang dengan paparan radiasi tinggi telah melampaui batas tahunan dalam paparan radiasi.
Ketua NRA, Shunichi Tanaka, telah mendesak Japan Atomic Energy Agency (JAEA) mengambil tindakan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut.
“Kami bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan pekerja,” ujarnya.
Pasca-insiden 6 Juni di fasilitas Oarai itu, Badan tersebut mendapat kecaman setelah sejumlah praktik kerja yang ceroboh itu terungkap.
Apalagi Badan itu belum melakukan pemeriksaan wadah sampel bubuk selama 26 tahun sejak disegel pada tahun 1991. Alat pelindung khusus dan masker yang digunakan untuk mencegah masuknya radiasi ke kulit ternyata tidak mampu melindungi pekerja.
Tokyo juga menilai kecelakaan di reaktor Nomor 2 di pabrik Mihama yang dijalankan oleh Kansai Electric Power Co pada tahun 1991 masuk katergori tingkat 2. Saat itu, sebuah tabung di dalam generator uap tersentak sehingga mengaktifkan sistem pendinginan inti darurat untuk pertama kalinya di negara.
Sebuah kecelakaan lain juga terjadi di pabrik pengolahan bahan bakar nuklir di Tokai, Prefektur Ibaraki, tahun 1999, yang menyebabkan kematian dua karyawan karena penyakit radiasi level 4. (Koran Jakarta)
Jika Anda Mempunyai Impian Untuk Memiliki
Bisnis Yang Besar dengan Income Yang Fantastis, Inilah saatnya merubah
diri Anda menjadi miliarder.