Dr. Wiwied Ekasari, M.Si., Apt. (Sumber : Ristekdikti) |
ImadAnalis. Penyakit malaria yang dibawa vektor Anopheles sp. betina banyak menjangkiti warga di kawasan tropis termasuk Indonesia. Penyakit yang disebabkan parasit tipe Plasmodium ini sudah banyak diobati. Namun, parasit ini telah mengalami resistensi terhadap sejumlah obat tertentu.
Ahli farmasi Universitas Airlangga Dr. Wiwied Ekasari, M.Si., Apt, mengembangkan obat antimalaria dengan mengekstraksi kandungan yang terdapat dalam tanaman Johar (Cassia siamea lamk). Perjalanan risetnya dimulai ketika salah satu seniornya bercerita tentang khasiat daun Johar yang kerap digunakan pejuang kemerdekaan Indonesia agar terhindar dari penyakit malaria saat bergerilya di hutan.
“Prajurit itu diperintahkan oleh komandannya untuk meminum perasan air daun Johar. Perasan air sering dipakai untuk menurunkan panas dan malaria. Terbukti bahwa ketika mereka sudah minum perasan air daun, mereka tidak terkena malaria,” tutur pengajar Fakultas Farmasi tersebut.
Sejak sebelum tahun 2000, Wiwied meneliti khasiat tanaman Johar demi menyelesaikan tesisnya. Ada banyak senyawa yang terkandung dalam tanaman Johar, namun pengajar mata kuliah Praktikum Anatomi Morfologi Tumbuhan memilih menggunakan fraksi yang mengandung senyawa cassiarin A untuk memungkas penyakit yang ditularkan nyamuk Anopheles sp. betina.
Alasannya, senyawa cassiarin A merupakan senyawa yang paling aktif dalam melumpuhkan malaria.
Dalam perjalanan risetnya, dosen Departemen Farmakognisi dan Fitokimia membandingkan efektivitas senyawa cassiarin A dengan klorokuin. Klorokuin merupakan obat yang biasa digunakan sebagai antimalaria. Namun, parasit penyebab malaria telah mengalami resistensi terhadap klorokuin. Sebagai penggantinya, kini penderita malaria mengonsumsi artemisinin sebagai obat standar.
Dengan menggunakan regulasi yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Wiwied mengombinasikan dua bahan aktif untuk mengatasi malaria. Dosen Departemen Farmakognosi dan Fitokimia itu mengombinasikan fraksi yang mengandung senyawa aktif cassiarin A dengan artemesinin.
“Kombinasi dengan artemesinin itu lebih bagus daripada hanya artemesinin saja. Jadi, ada banyak kesempatan untuk Johar yang bisa dijadikan sebagai kombinasi obat. WHO menyarankan, obat antimalaria tidak berdiri sendiri agar tidak terjadi resistensi,” tutur Wiwied.
Wiwied menyebutkan, ada tiga mekanisme kerja yang dihasilkan oleh kombinasi kedua bahan aktif. Pertama, kombinasi kedua bahan aktif itu menghambat endositosis dari sel darah merah ke vakuola yang berfungsi memberi nutrisi kepada parasit. Kedua, menghambat degradasi globin menjadi protein asam amino. Ketiga, menghambat perubahan dari detoksifikasi heme menjadi hemozoin.
“Tentu pada akhirnya, parasit penyebab malaria akan mati dengan kombinasi dua bahan aktif,” terang penulis buku TOGA Indonesia yang terbit tahun 2016.
Saat ini, bersama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Wiwied tengah meneliti dosis maksimal fraksi senyawa cassiarin A yang bisa membunuh parasit penyebab malaria.
“Ini sedang kita atur dosisnya agar tidak melebihi batas aman,” imbuhnya.
Mewujudkan kemandirian
Menurut Wiwied, salah satu keunggulan obat herbal antimalaria yang tengah ditelitinya adalah ketersediaan tanaman Johar. Bahan baku tersebut dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia. Namun, hal itu berlaku sebaliknya pada ketersediaan bahan baku artemisinin. Bahan baku artemisinin tak dapat ditemukan di Indonesia.
“Artemesinin itu kan bukan berasal dari tanaman kita. Itu tanaman dari Tiongkok. Makanya, kita (Indonesia) impor terus. Dengan menggunakan Johar, diharapkan obatnya asli dari kita. Kita bikin obat sendiri dari tanaman sendiri. Sumber daya alamnya tersedia dan didukung sumber daya manusia yang mumpuni,” tegas Wiwied.
Selain itu, penelitian Wiwied juga dapat menjadi alternatif jika penular malaria mengalami resistensi terhadap obat standar yang kini digunakan WHO. Wiwied mengatakan, walau kasus resistensi terhadap obat artemisinin belum terjadi di Indonesia, namun kasus ini sudah terjadi di Asia. Salah satunya, Thailand.
Kasus resistensi itu disebabkan deregulasi soal distribusi obat program kepada masyarakat. Selain itu, pemerintah perlu mewaspadai kasus resistensi karena tingginya mobilitas penduduk.
“Tapi, penularan oleh nyamuk terjadi begitu cepat karena dia berkembang biak dan menghinggapi orang yang travelling (bepergian). Dia bisa menular ke mana-mana. Sedangkan, artemesinin kan masih belum ada yang menggantikan. Apalagi di Indonesia kan masih ada masyarakat yang kekurangan obat. Makanya, kami meneliti antimalaria dari Johar karena hampir semua daerah punya tanaman ini,” ujar peneliti kelahiran Surabaya, 22 Januari 1969.
Wiwied menambahkan, setelah penelitian dosis maksimal selesai, pada tahun 2018 pihaknya akan menggandeng industri dalam negeri untuk melakukan serangkaian uji klinis pada manusia. Tiga tahun mendatang, Wiwied berharap obat antimalaria yang ia kembangkan telah dapat dimanfaatkan oleh warga yang berada di kantong endemis malaria, termasuk Indonesia. (Ristekdikti)
Baca juga :
- Peneliti 14 Negara Bahas Pengendalian Hama Wereng
- Jangan Tambahkan Es dan Lemon pada Minuman, Ini Alasannya