Infeksi tak Kunjung Sembuh? Waspadai Resistensi Antibiotik!

 
Ilustrasi. (Foto : Apoteker)
Imad Analis. Penggunaan antibiotik berlebihan rupa-rupanya dapat menyebabkan penyakit kian parah, bahkan hingga meninggal dunia. Pasien yang overdosis antibiotik bisa resisten terhadap obat. Akibatnya, penyakit yang diderita tak kunjung sembuh. 

1. Amati ciri-cirinya


"Pasien yang sudah resisten bisa dideteksi dengan cara mengambil sampel dari lokasi infeksinya, kemudian dikirim ke laboratorium mikrobiologi. Dari sana akan ketahuan tingkat resistensi bakterinya," ujar Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Indonesia (KPRA) dr Hari Paraton di Jakarta, Selasa (27/2).

Jika semakin resisten, imbuh dia, artinya antibiotik yang digunakan sudah tak mampu membunuh bakteri di tubuh pasien.

"Pada puncaknya mengalami pahn resistence, yakni semua jenis antibiotik sudah resisten terhadap bakteri. Gak bisa dibunuh dengan bakteri apa pun yang ada di dunia," imbuhnya.

2. Infeksi tak kunjung sembuh
Gejala lain yang perlu diwaspadai adalah infeksi yang tak kunjung sembuh. Semakin diberikan antibiotik, infeksi tersebut justru semakin parah.

"Makin tumbuh bakterinya, kayak dikasih pupuk aja. Ini makanya jangan terlalu lama pakai antibiotik. Antibiotik bisa berubah jadi penyembuh, kemudian penumbuh bakteri baru," imbuhnya.

3. Perhatikan kadar minimal dosis antibiotik


Menurut Hari, setiap penyakit punya dosis antibiotik dan lamanya waktu perawatan, namun tak sedikit pasien maupun dokter yang tak paham. Dalam beberapa kasus, ada antibiotik yang harus dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu, ada pula yang sebaliknya. 

"Kalau kasusnya infeksi bakteri, penggunaan antibiotik itu ada waktunya, seperti TBC harus 6 bulan dikasih antibiotik, ya pasien harus patuh sampai 6 bulan. Kalau gak tuntas ya tumbuh lagi, akan lebih parah dan resisten," kata Hari.

Sebaliknya, jika saat diagnosa tidak ditemukan infeksi bakteri, pasien tak perlu menghabiskan sisa antibiotiknya. Menurut Hari, infeksi virus dan infeksi bakteri nyaris memiliki gejala yang sama, sehingga acap kali dokter salah diagnosa. 

"Dokter harus bisa memilah apakah ini infeksi bakteri atau infeksi virus. Kedua, bergantung rumah sakit, punya sarana nggak untuk mendiagnosis penyakit dengan baik?" tuturnya.

4. Awas obat expired!
Hari menjelaskan, setiap obat itu memiliki masa expired atau batas waktu pemakaian. Pasien harus cermat memerhatikan kode expired yang tertera pada bungkus obat. Jika sudah expired, jangan coba-coba menggunakannya karena secara struktur kimiawinya sudah berubah.

"Antibiotik expired justru bisa menimbulkan resistensi sangat cepat karena termasuk jenis obat keras. Antibiotik bahkan bisa menimbulkan dampak pada orang lain, bakteri resisten itu menular," tuturnya.

5. 80 persen penggunaan antibiotik di rumah sakit perlu dibenahi


Menurut Hari, KPRA telah memberikan pelatihan penggunaan antibiotik pada ratusan rumah sakit. Rumah sakit besar akan menularkan ilmunya ke rumah sakit yang kecil. Kendati tak dapat menyebutkan jumlah angka pasti, Hari menyatakan berdasarkan sampel upaya tersebut belum maksimal.

"Semua rumah sakit dari barat sampai timur, 80 persen penggunaan antibiotik masih perlu dibenahi," paparnya.

Fakta tersebut semakin menguatkan kasus salah kaprah diagnosis oleh para dokter. Hari menyebut, tak jarang dokter memberikan antibiotik sebelum operasi besar hanya karena takut pasiennya tak bisa sembuh, padahal antibiotik tak diperlukan dalam operasi tersebut. Akibatnya, pasien justru dapat mengalami resisten alias kebal terhadap obat-obatan. (Sumber : IDN Times)

Baca juga :



Imaduddin Badrawi, S.Tr.AK
Imaduddin Badrawi, S.Tr.AK
Founder www.infolabmed.com, tim penulis buku "Pedoman Teknik Pemeriksaan Laboratorium Klinik Untuk Mahasiswa Teknologi Laboratorium Medik". Aktif menulis di https://www.atlm-edu.id/, https://www.indonewstoday.com/, dan https://kumparan.com/catatan-atlm. Untuk kerjasama bisa melalui e mail : imadanalis@gmail.com

Related Posts