IMAD ANALIS - Halo, semoga kalian dalam keadaan baik. Kali ini, saya ingin berbagi catatan dan renungan pribadi saya setelah menyimak sebuah video dari channel Kang Dedi Mulyadi.
Seperti yang kita tahu, beliau adalah seorang tokoh yang pemikirannya sangat lekat dengan kearifan lokal Jawa Barat.
Pidatonya ini, meskipun ditujukan untuk mahasiswa, menurut saya adalah wejangan hidup untuk kita semua sebagai manusia, khususnya yang tinggal di tanah Pasundan ini.
Saya merasa pidato ini sangat relevan untuk direnungkan, bukan hanya didengarkan. Yuk, kita simak poin-poin yang saya rangkum dan saya renungkan bersama.
1. Kritik untuk Mahasiswa dan Harapan untuk Pemimpin
Beliau menyoroti bahwa mahasiswa harus tetap kritis dan konsisten memperjuangkan idealismenya. Bukan hanya saat jadi mahasiswa, tetapi juga kelak ketika sudah menjadi pemimpin. Gerakan mahasiswa harus menjadi penyuara efisiensi anggaran, anti-korupsi, dan pengawas kinerja pemerintah.
Yang paling membekas bagi saya adalah pesan tentang hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat. Pemimpin yang baik lahir dari rakyat yang baik, dan sebaliknya. Keduanya harus berubah. Pemimpin harus menjauhi keserakahan, sementara kita sebagai rakyat harus membudayakan antri, saling menghargai, dan bertanggung jawab. Ini soal gotong royong, bukan saling menyalahkan.
2. Hidup Prihatin dan Semangat Kemandirian
Sebagai mantan mahasiswa, saya sangat setuju dengan poin ini. Kang Dedi menekankan agar mahasiswa hidup prihatin, mandiri, dan tidak manja. Hemat uang jajan, tinggal di kontrakan sederhana, dan berusaha membiayai diri sendiri adalah bentuk "pertapaan" yang akan menempa karakter.
Kemandirian dimulai dari hal kecil: mencuci piring sendiri, memasak, dan melayani diri sendiri. Beliau mencontohkan dengan kisah pribadinya yang berdagang sejak muda dan membiayai pernikahannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa kesuksesan dibangun dari bawah, bukan diraih secara instan.
3. Pola Pikir Tangguh dalam Menghadapi Kegagalan
Poin ini seperti tamparan halus untuk saya pribadi. Beliau mengingatkan bahwa penderitaan dan kesulitan di usia muda adalah proses "pertapaan" yang akan membuat kita kuat. Jangan cengeng saat putus cinta, ditolak, atau miskin. Jadikan itu motivasi untuk bangkit.
Saya juga tertampar dengan nasihat untuk tidak mengeluh dan memamerkan penderitaan di media sosial. Serahkan pada Tuhan dan carilah jalan keluar dengan usaha. Hidup perlu keseimbangan IQ, EQ, dan SQ. Banyak orang pintar (IQ tinggi) gagal karena kecerdasan emosional dan spiritualnya rendah.
4. Menyongsong Masa Depan dengan Kreativitas
Beliau mengingatkan bahwa masa depan akan dikuasai efisiensi dan AI, yang mempersempit lapangan kerja tradisional. Solusinya? Jangan jadi pencari kerja, tapi jadilah pencipta lapangan kerja (pengusaha). Mulailah dari hal-hal kecil dan pahami seluruh proses bisnis secara mendetail. Ini adalah ajakan untuk berani berwirausaha.
5. Kritik Pedas untuk Sistem Pendidikan
Ini kritik yang sangat dalam. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi tempat "bertapa", bukan pesta atau pamer kekayaan. Sistem kelulusan seharusnya dinilai dari produk nyata yang dihasilkan, bukan hanya dari tebalnya skripsi. Gelar akademik harus sejalan dengan kontribusi riil kepada masyarakat. Banyak akademisi bergelar tinggi tetapi tidak memiliki produk atau temuan yang bermanfaat, mereka hanya mengejar gengsi.
6. Nasionalisme dan Hilirisasi Industri
Sebagai bangsa, Indonesia tidak boleh terus-menerus menjual bahan mentah. Kita harus mengolahnya menjadi barang jadi (hilirisasi) untuk menambah nilai tambah. Beliau mencontohkan Tiongkok yang maju secara teknologi tetapi tetap mempertahankan produksi tradisional. Indonesia harus memiliki jati diri dan tidak meninggalkan tradisi hanya untuk mengikuti tren.
7. Tanggung Jawab pada Lingkungan dan Mengenal Diri Sendiri
Problem sampah di kota-kota besar yang penuh kampus adalah bukti bahwa akademisi belum mampu menyelesaikan masalah di sekitarnya. Penyebabnya adalah manusia yang apatis dan tidak peduli.
Terakhir, kunci segalanya adalah mengenal diri sendiri. Siapa kita, dari mana asal usul, golongan darah, hingga makanan yang cocok. Dokter terbaik untuk diri kita adalah diri kita sendiri karena kitalah yang paling memahami kondisi tubuh dan jiwa kita.
Penutup: Mulai dari Diri Sendiri
Inti dari pidato Kang Dedi Mulyadi adalah bahwa untuk memajukan bangsa, perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Menjadi pribadi yang mandiri, tangguh, kreatif, bertanggung jawab, dan produktif.
Saya mencatat ini semua sebagai pengingat untuk saya pribadi dan semoga bisa menginspirasi kalian yang mungkin sedang mencari "hidup dalam perspektif budaya menurut alam pikiran Kang Dedi Mulyadi". Semoga bermanfaat untuk kita renungkan dan terapkan bersama.
Salam, Blogger X Cimanuk.
