Imad Analis. Sebuah usaha, sebuah lembaga baik swasta dan pemerintah pasti menginginkan pekerjanya memiliki kompetensi sesuai bidangnya. Semisalnya, jika perusahaan itu bergerak dalam bidang industri kimia, maka akan dibutuhkan seseorang yang mempunyai kompetensinya di bidang kimia salahsatunya. Dan pengisian semua stafnya sesuai bidangnya masing-masing.
Ilustrasi. |
Atau dalam sebuah Rumah Sakit. Bidan bekerja sesuai dengan kompetensinya, Perawat, dan tenaga teknis lainnya bekerja sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Namun, karena kita tidak takut akan perintah Allah, lebih takut perut kelaparan. Lebih takut tidak dipandang oleh masyarakat. Maka, untuk masuk kedalam sebuah lembaga, perusahaan rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk sebuah "gengsi".
Bukan rahasia umum jika, tahun-tahun sebelumnya penerimaan ASN melibatkan permainan uang. Tidak sedikit yang melakukan seperti itu. Malah ada yang bersifat terang-terangan. Ada juga kasus yang pernah santer di Indramayu, masuk ke sebuah perusahaan daerah bergerak di layanan air bersih, uang sudah masuk Rp. 200jutaan belum kerja, akhirnya rame di media sosial dan diangkat diberita daerah. Janjikan Kerja di PDAM, Minta Uang Ratusan Juta.
Padahal, Rasulullah sudah memberikan peringatan bahwa suap, nyogok, dan sejenisnya sudah dilarang. Efeknya jelas, bahwa sebuah intansi akan mengalami kegoyahan jika menerapkan hal seperti itu. Kurang adanya tenaga kompeten. Menumpuknya tenaga dengan biaya besar yang harus dikeluarkan untuk upah. Tidak efektifnya program untuk dikerjakan. Dan masih banyak hal-hal kurang baik lainnya.
Dalam ekosistem seperti saat ini, memang agak sulit untuk menerapkan syariat Islam. Harus diperlukan kesadaran yang mendalam tentang Islam sebenarnya. Orang-orang yang sudah beragama Islam, menganggap Dosa itu "tidak merugikan" orang lain. Bukan karena takut akan larangan Allah. Jika Dosa adalah Larangan Allah. Saya yakin tidak akan ada suap-menyuap, sogok-menyogok, dan korupsi. Kita saat ini hanya mengenal Dosa adalah "tidak merugikan" orang lain. Memang, fikiran seperti ini sebuah fikiran kebablasan. Tapi fakta berbicara dengan sebenarnya. Saya ambil contoh, Si Fulan ingin masuk sebuah RS Daerah. Dengan membayar misalnya Rp. 30juta dia sudah masuk dan bekerja di RS Daerah tersebut. Secara Syariat ini SALAH. Tapi secara akal manusia ini BENAR. Inilah yang saya katakan Dosa yang tidak merugikan. Dia sadar berbuat hal tersebut, tapi masih mau melakukannya.
Saya kasih contoh lain, Si Fulan setiap hari nonton infotainment, kemudian "Ngomongin" semua orang yang dia temui untuk bahan "gosip". Secara Syariat si Fulan ini SALAH. Tapi secara rasio akal fikiran si Fulan, dia akan berkata Tidak Apa-Apa, karena dia tidak merugikan orang lain. Secara Syariat dengan membicarakan orang lain yang tidak ada pada orang tersebut adalah sebuah DOSA. Tapi, si Fulan menganggapnya adalah sesutu yang BIASA?
Jadi, jika kesadaran seseorang belum tersentuh IMAN ISLAM. Maka, sistem seperti ini akan terus berlanjut. Tidak ada kepastian sistem yang seperti ini akan berakhir. Bahkan akan semakin gila, diwariskan secara turun-temurun. Hanya ajal yang akan menghentikannya. Naudzubillahimindzalik.