Hampir Punah, Rumah Adat Rangken Khas Indramayu Tinggal 2 yang Tersisa. Rumah Rangken merupakan rumah adat yang berada di kawasan Desa Totoran, Blok Bonjot, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Rumah Rangkeh Khas Indramayu. (Foto: iNews.id/Andrian Supendi) |
Seperti halnya rumah tradisional, Rumah Rangken atau Rumah Atep banyak menggunakan bahan baku alam, yakni terbuat dari bambu dengan atap daun nipah berbentuk limas.
Asal mula nama Rangken sendiri adalah sebutan dari daun nipah yang sudah dikeringkan lalu disusun rapih untuk atap rumah.
Menurut informasi yang didapat, daerah tersebut dahulunya adalah kawasan hutan di wilayah pesisir yang banyak terdapat daun nipah. Hutan itu pun kemudian dibabat untuk dijadikan sebuah permukiman atau kampung, daun nipah dari hutan itu lalu dimanfaatkan masyarakat guna membuat rumah.
Namun sayangnya, rumah-rumah yang mengandung nilai kearifan lokal serta terbuat dari materi yang tanggap akan kondisi alam setempat kini mulai banyak tergantikan dengan konstruksi rumah dari tembok dan semen.
Termasuk keberadaan Rumah Rangken yang saat ini mulai berkurang karena dianggap oleh pemerintah desa setempat sebagai rumah tidak layak huni, sehingga dilakukan pembedahan. Padahal, Rumah Rangken tersebut menjadi rumah khas Kabupaten Indramayu terutama warga yang berlokasi di Desa Totoran dan Desa Pabean Ilir. Rumah tradisional Rangken juga termasuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Menurut salah seorang warga di Blok Bonjot Desa Totoran, Masiyem (65) menyampaikan, di blok tempat tinggalnya bahkan hanya tersisa dua unit Rumah Rangken saja, karena sudah banyak yang dibedah.
"Banyak dahulunya di sini, semuanya Rumah Rangken, tapi sekarang banyak yang dibedah rumahnya. Kalau nyaman memang nyaman tinggal di Rumah Rangken, adem kalau lagi siang. Mungkin yang masih asli itu tinggal dua, yang ini ditinggali Saniah dan yang sebelah sana ditinggali Kadinah," ujar dia yang sekaligus tetangga Saniah saat menunjukkan Rumah Rangken kepada MNC Portal, Minggu (13/2/2022).
Alasan Rumah Rangken itu dibedah, kata Masiyem, karena tidak tahan cuaca, atap rumah tersebut sering bocor, terutama saat musim hujan. Mereka mesti rutin menganti atap rumah dengan rangken baru, kekuatan dari rangken ini menurutnya hanya mampu bertahan sekitar 1 tahun.
Sementara, Warga lainnya, Dasminih (50) mengungkapkan, Rumah Rangken yang masih tersisa salah satunya ditinggali oleh anaknya, Kardinah. Sudah sekitar dua tahun anaknya menempati Rumah Rangken tersebut, akan tetapi satu bulan terakhir, anaknya itu mengungsi ke rumah mertuanya, karena rumah Rangken yang ditinggali anaknya itu sekarang sudah waktunya diganti atap.
"Tapi anak saya lagi tidak punya uang, jadi pindah dulu ke rumah mertuanya, barang-barang juga dibawa," ujar Dia.
Disampaikan Dasminih, Rumah Rangken yang masih tersisa itu berdiri di atas tanah desa. Warga kemudian menyewa tanah tersebut sebesar Rp50.000 per tahun kepada pemerintah desa.
Dia pun berharap, pemerintah bisa membantu menganti atap Rumah Rangken tersebut, terlebih sekarang ini sudah memasuki musim penghujan. Hal itu, kata dia, sebagai upaya dalam melestarikan Rumah Rangken yang jumlahnya kini hanya tersisa beberapa unit saja.
"Rumah yang ditinggali anak saya ini masih asli, tapi sering bocor," ujar Dia. (Sumber : iNEWS)
Posting Komentar